Sunday, November 29, 2015

Ahok Jamin APBD DKI Tidak Akan "Deadlock"

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berani menjamin pembahasan rancangan anggaran pendapatan belanja daerah (RAPBD) DKI 2016 tidak menemui jalan buntu atau deadlock

Meskipun demikian, pengesahan RAPBD DKI hampir dipastikan molor. Sebab Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menetapkan pengesahan RAPBD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran selesai.  

"Enggaklah (deadlock). Saya kira kawan-kawan DPRD sangat mendukung kami sekarang. Malah kami sisir (anggaran) bersama," kata Basuki, di Balai Kota, Senin (?30/11/2015).  

Basuki mengaku sudah menginstruksikan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) mencetak dokumen Kebijakan Umum Anggaran Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2016. 

Sebelumnya, Basuki bersama jajaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) DKI sudah menyisir anggaran. Sehingga Komisi serta Badan Anggaran (Banggar) DPRD tinggal menyisir anggaran yang tercantum dalam KUA-PPAS 2016. 

"RKPD-nya (rencana kerja pembangunan daerah) enggak berubah dan judul kegiatan juga tidak berubah. Yang ada adalah pengosongan nilainya, seperti kegiatan sosialisasi tiap SKPD," kata Basuki.  

Direktur Koalisi Masyarakat Pemantau Legislatif (KOPEL) Syamsudin sebelumnya mengatakan, seharusnya paripurna pengesahan Peraturan Daerah (Perda) RAPBD 2016 dilakukan Senin (30/11/2015) ini. 

Penyerahan KUA-PPAS 2016 oleh eksekutif, lanjut dia, juga terlambat dari jadwal awal, yakni bulan Juli. Pemprov DKI baru menyerahkan dokumen KUA-PPAS 2016 kepada DPRD DKI pada Agustus. 

Kemudian berdasarkan Peraturan Mendagri Nomor 52 Tahun 2015 tentang Pedoman Penyusunan APBD, kesepakatan KUA-PPAS dilakukan akhir bulan Juli. 

Penyampaian Raperda APBD kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober dan pengesahan Perda RAPBD 2016 dilaksanakan paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran selesai. 

"Provinsi DKI ini punya catatan buruk dalam tiga tahun terakhir selalu mengalami keterlambatan. Bahkan (APBD) tahun 2015 harus menggunakan Pergub karena gagal menetapkan sesuai jadwal," kata Syamsudin.

Pengamat: Kalau Mau Selamat, Jokowi Perlu Bersihkan Menteri yang Anti-Nawacita



Direktur Sabang Merauke Circle (SMC) Syahganda Nainggolan menilai, sudah saatnya Presiden Joko Widodo melakukan perombakan kabinet. 

Ia menilai adanya gelagat sejumlah pembantu presiden yang bekerja tidak sesuai dengan konsep Nawacita yang digadang-gadang Jokowi. 

"Kalau Jokowi mau selamat, ini kesempatan Jokowi menteri yang anti-Nawacita dia bersihin," ujar Syahganda di Jakarta, Minggu (29/11/2015). 

Syahganda menilai, salah satu menteri yang harus dicopot karena tidak pro Nawacita adalah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. 

Menurut dia, Sudirman sengaja dimasukkan ke dalam kabinet untuk kepentingan tertentu. Hal ini, menurut Syahganda, tampak dari gerak-gerik Sudirman dalam kasus pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk perpanjangan kontrak PT Freeport.

"Sudirman berusaha bermain dengan kontrak Freeport itu mungkin untuk kepentingan JK (Jusuf Kalla), karena yang bela dia JK," kata Syahganda. 

Atas dasar itu, Syahganda menilai Jokowi perlu memecat menteri yang hanya membuat bangsa gaduh. 

Bahkan, menurut Syahganda, para menteri yang dianggap mematuhi nawacita sebaiknya diajak untuk memilih menteri baru di Kabinet Kerja.

"Cukup setahun belajar bagi Jokowi, dia masih punya banyak stok," ucap Syahganda. 

Sementara itu, Politikus PDI Perjuangan Eva Sundari menilai, sejumlah menteri di Kabinet Kerja malah menjadi beban bagi pemerintah.

Eva menganggap Jokowi dikelilingi penyusup yang mengabaikan Nawacita dan Trisakti. 

"Omongan saya di grup, 'Jokowi ibarat berjalan bersama para perampok berenang bersama para hiu'" ujar Eva. 

Eva mengatakan, mafia hukum berkeliaran bebas tanpa pernah ditindak tegas. Hal tersebut, kata Eva, justru akan mempersempit ruang untuk pembangunan bangsa.

Kasus Ketua DPR Catut Nama Presiden Diprediksi Selesai Tanpa Solusi

Pengamat politik Tjipta Lesmana memprediksi, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan menutup kasus dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto untuk perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia 

Tjipta pesimistis MKD akan mengenakan sanksi kepada Novanto terkait perannya meminta saham Freeport, sebagaimana ada dalam rekaman yang diserahkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said kepada MKD. 

"MKD tidak akan bisa selesaikan kasus papa minta saham. Nanti kesimpulannya ini rekaan, belum tentu benar suara Maroef (Presdir Freeport), suara Riza (pengusaha Riza Chalid), suara Setya Novanto," kata Tjipta. 

Aparat penegak hukum, kata Tjipta, mesti menyelidik masalah itu. Hanya dengan itu, harapan publik untuk mendapat kepastian tentang kasus itu bisa terwujud. Namun, hingga saat ini polisi menunggu adanya pengaduan warga dan hingga saat ini belum ada yang melaporkan kasus itu. 

Menurut dia, polisi akan beralasan kasus ini tidak dapat diusut karena tidak ada pengaduan. "Gimana polisi bertindak kalau tidak ada pelapor? Jadi akan selesai begitu saja," kata Tjipta. 

Tjipta meyakini ada permainan politik di balik kasus pencatutan nama kepala negara itu. Begitu pula dengan pengamanan Novanto di MKD. 

"Tentu, sudah pasti unsur politik untuk menyelamatkan si anu, si anu. Akan selesai dengan tidak ada solusi. Kerja MKD akan mengecewakan," kata dia.

Jokowi Diibarat Berjalan Bersama Perampok, Berenang Bersama Hiu

 Politikus PDI Perjuangan Eva Sundari menilai, sejumlah menteri di Kabinet Kerja justru menjadi beban bagi pemerintahan.  Eva menganggap Jokowi dikelilingi penyelundup yang mengabaikan nilai Nawacita dan Trisakti yang digadang-gadang pemerintah saat ini.

"Omongan saya di grup, 'Jokowi ibarat berjalan bersama para perampok berenang bersama para hiu'," ujar Eva dalam diskusi di Jakarta, Minggu (29/11/2015).

Eva mengatakan, orang-orang tersebut berkeliaran bebas karena Jokowi kurang bertindak tegas. Hal tersebut justru akan membuat mafia hukum tetap berkeliaran di sekitarnya.

"Mafia di mana-mana dan didiamkan. Ini mempersempit kesempatan kita membangun," kata Eva.

Ia mengatakan, yang terpenting bagi PDI-P selaku partai pengusung adalah para pembantu presiden yang loyal. Ia tidak ingin menteri hanya menjadikan Nawacita dan Trisakti sebagai dasar mereka membuat suatu kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan kepentingan publik.

"Jangan sampai kontrak dia dan presiden yaitu Nawacita dan Trisakti diabaikan," kata Eva.

Johan Budi Kaget Revisi UU KPK Dilakukan Tahun Ini

Pimpinan sementara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi mengaku terkejut Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2015.
Padahal, menurut Johan, sebelumnya sudah ada kesepakatan yang disampaikan oleh pemerintah bahwa revisi UU KPK tidak akan dilakukan pada tahun ini.
"Beberapa waktu lalu pemerintah meminta pendapat KPK dan sudah ada kesepakatan revisi tidak dilakukan pada tahun ini," kata Johan di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (30/11/2015).
Johan menambahkan, revisi UU KPK juga seharusnya dimaksudkan untuk memperkuat KPK dan bukannya malah melemahkan.
Suara yang sama, menurut Johan, pernah disampaikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa jika revisi tersebut memperlemah, maka harus ditolak.
Terlebih melalui draft revisi yang sempat beredar terdapat sejumlah pasal yang akan melemahkan KPK. 
"Misalnya KPK tidak boleh lagi punya kewenangan penuntutan, KPK umurnya hanya dibatasi 12 tahun. Nah, ini kan slogannya memperkuat, tapi kalau isi draftnya seperti itu sepertinya kan kan memperlemah," tutur Johan.
Ia menambahkan, KPK tidak memiliki kewenangan untuk menolak atau menerima revisi UU KPK dan hanya berwenang untuk menjalankan UU. Meski begitu, Johan meyakini publik dapat ikut mengawal proses tersebut.
"Revisi atau tidak revisi adalah tergantung suaranya DPR dan Presiden. Kalau dua institusi itu, legislatif dan eksekutif itu sudah sepaham merevisi, ya itu yang terjadi," kata Johan.
Badan Legislasi DPR dan pemerintah sepakat mengebut revisi UU KPK dengan menjadikan revisi ini sebagai inisiatif DPR.
Wakil Ketua Baleg Firman Soebagyo optimistis revisi ini bisa selesai sebelum penutupan masa sidang DPR akhir Desember 2015.
Firman memastikan akan mengundang pimpinan KPK dalam proses revisi. Hal ini dilakukan agar tak ada lagi tudingan kepada DPR mengenai upaya pelemahan terhadap KPK. 
Revisi UU KPK awalnya disepakati masuk dalam prolegnas prioritas 2015 sebagai inisiatif pemerintah pada 23 Juni. Namun, pada 6 Oktober, 45 anggota DPR mengusulkan untuk mengambil alih inisiatif penyusunan RUU KPK.
Dalam usulannya, para anggota DPR itu menyertakan draf yang isinya dianggap melemahkan KPK. Contohnya, diatur bahwa masa kerja KPK hanya 12 tahun setelah UU diundangkan. 
Draf itu juga mengatur batasan bahwa KPK hanya bisa menangani kasus dengan kerugian negara minimal Rp 50 miliar.
Kewenangan penyadapan KPK juga harus dilakukan melalui izin pengadilan. Kemudian, KPK diusulkan tak lagi menyelidik dan menyidik perkara korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.
KPK juga nantinya akan memiliki kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Terakhir, akan dibentuk juga lembaga pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. 
Setelah rencana tersebut menuai kritik, pada 14 Oktober, pemerintah dan pimpinan DPR sepakat menunda pembahasan revisi UU KPK.